Matchadreamy

Achmad Irfandi Ajak Anak-anak Masuki Dunia Tanpa Gawai di Kampung Lali Gadget

Fitri Apriyani
Fitri Apriyani
"Kalau semua orang berlomba-lomba dalam kemajuan teknologi, lalu siapa yang memikirkan dampak negatif dari perkembangan teknologi itu?"

Menggunakan sebilah pisau kecil, Achmad Irfandi memotong batang pelepah pisang menjadi bagian-bagian kecil berbentuk bulat pipih menyerupai roda kendaraan. Bagian-bagian tersebut kemudian ditancapkan dengan lidi pendek ke bagian pelepah pisang yang lebih besar. Lalu jadilah sebuah mainan truk mini yang bisa berjalan jika ditarik atau didorong.

Anak-anak yang mengerubung dan menyaksikan kelihaian pemuda asal Sidoarjo itu tampak antusias untuk segera mempraktekkannya. Sambil tersenyum ceria, masing-masing dari mereka mengambil setiap bagian pelepah pisang yang telah disediakan untuk membuat truk miliknya sendiri.

Meski termasuk generasi milenial, pria yang akrab disapa Irfandi tersebut menguasai banyak permainan tradisional. Selain berasal dari kenangan masa kecil, ia mengaku bahwa pengetahuan tentang permainan-permainan tradisional tersebut berasal dari hasil wawancara dengan para sepuh di kampungnya.”Mainan-mainan seperti itu biasanya saya dapat dari wawancara, atau dari lingkungan sekitar saya,” kata Irfandi.

Ketika kebanyakan anak muda berlomba-lomba menguasai beragam teknologi terbaru, Irfandi justru melakukan sebaliknya. Ia ingin menciptakan “dunia” di mana tidak ada teknologi, tidak ada gadget. Yaitu dunia yang diisi orang-orang, terutama anak-anak, yang menatap luas ke sekitar dengan seutuhnya, bukan merunduk ke layar gawai yang membelenggu.

Ia memiliki mimpi agar permainan tradisional yang mengandung nilai budaya dan kearifan lokal kembali hidup di tengah gempuran jaman. Anak-anak menjadi target utama atas misi mulianya ini. Baginya mereka adalah manusia yang jiwanya masih suci dan belum terkontaminasi banyak hal. Maka, akan menjadi mudah untuk diisi dengan nilai-nilai positif yang kelak menjadi bekal mewarisi masa depan negeri.

Agar asa tak sekedar terkurung dalam dunia imaji, Irfandi menginisiasi berdirinya Kampung Lali Gadget pada tahun 2018 di sebuah desa bernama Pagerngumbuk di Kecamatan Wonoayu, Sidoarjo, Jawa Timur.

Fenomena Kecanduan yang Meresahkan

“Kalau semua orang berlomba-lomba dalam kemajuan teknologi, lalu siapa yang memikirkan dampak negatif dari perkembangan teknologi itu?”

Perkembangan teknologi, khususnya gadget yang terhubung koneksi internet, bagaikan pisau bermata dua. Gawai bisa bermanfaat karena mempermudah aktivitas kehidupan manusia, namun tak sedikit juga yang malah jadi kecanduan hingga merusak kesehatan fisik dan mental. Pada anak-anak, penggunaan gadget yang terus-menerus tanpa mengenal waktu berpotensi mengganggu tumbuh kembang serta membuat mereka kecanduan.

Laman resmi Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyebutkan bahwa meskipun belum ada angka pasti berapa persentase dan jumlah anak yang mengalami gejala kecanduan gawai, dari sejumlah kasus yang terungkap di publik, hasil kajian, survei, dan penelitian menunjukkan fenomena kecanduan gawai pada anak saat ini berada pada situasi yang mengkhwatirkan.

Berdirinya Kampung Lali Gadget (KLG) berawal dari kegelisahan Irfandi atas fenomena kecanduan gadget yang meresahkan tersebut. Gadget atau gawai seolah memiliki semacam tali tak kasat mata yang menjerat leher anak-anak, sehingga terpaku menatap layar begitu lama sampai-sampai membuat lupa waktu dan juga menurunkan minat belajar.

Gaya pergaulan yang serba daring membuat mereka jarang berinteraksi sosial. Di antara mereka juga begitu gelisah jika tidak ada jaringan internet atau Wi-Fi dan saat baterai HP lemah.

Ilustrasi anak kecanduan gadget | www.posjabar.com

Bocah-bocah yang sebenarnya polos tersebut kerap meniru perilaku buruk yang mereka tonton di video Youtube, TikTok, atau bahkan karakter game yang mereka mainkan. Dampaknya, mereka bahkan tidak segan bersikap kurang sopan kepada orang tuanya.

“Mulai bangun tidur sampai mau tidur lagi, HP yang dipegang. Game terus. Anak itu sering cenderung apa ya, pemarah,” tutur Siti Harnanik, salah seorang ibu dari anak yang kecanduan gadget.

Siti Harnanik tidak seorang diri. Fenomena ini telah menjadi isu sosial dan menjadi tantangan yang serius. Sebagaimana diungkapkan oleh Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto, “Anak kecanduan gawai menjadi tantangan serius”.

Pun demikian, dengan bijak Irfandi tidak ingin menyalahkan anak-anak sepenuhnya atas permasalahan adiksi gawai ini. “Kita tidak boleh menyalahkan anak-anak ya,” ujarnya.

Baginya, secara fitrah anak-anak memang suka bermain. Terbukti saat menggunakan gawai, yang paling sering mereka lakukan adalah bermain game online. Maka, Irfandi berpikir bagaimana agar anak tetap bisa menyalurkan sifat naluriah tersebut tanpa harus terpapar konten negatif yang bertebaran di dunia maya.

Ia juga merasa memiliki tanggung jawab sosial untuk menanamkan nilai-nilai luhur warisan para leluhur dan kearifan lokal dari permainan tradisional, yaitu tentang gotong royong, toleransi, kebersamaan, dan kreativitas.

Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Irfandi menjadikan Kampung Lali Gadget menjadi titik awal gerakan inovasi sosial dengan menjadikan permainan tradisional sebagai pintu masuk mengatasi candu teknologi.

Permainan tradisional adalah produk budaya yang harus disampaikan ke generasi selanjutnya.

Achmad Irfandi mengajarkan bermain meriam sederhana dari bambu | www.iniklg.com

Sorak-sorai di Dunia Tanpa Gawai

Cublak-cublak suweng

Suwenge ting gelenter

Mambu ketundhung gudel

Pak empong lera lere

Sapa ngguyu ndhelikkake

Sir sir, pong dhele kopong

Lagu tradisional “Cublak-cublak Suweng” dari Jawa Tengah dinyanyikan riang oleh beberapa kelompok anak-anak di sebuah bangunan sederhana. Sambil bernyanyi, tiga orang dari tiap kelompok saling memindahkan kerikil yang mereka pegang di atas punggung satu orang anak yang membungkuk dan melihat ke bawah dengan mata tertutup.

Setelah lagu selesai dinyanyikan, anak yang membungkuk harus menebak nama anak yang memegang batu kerikil. Tawa dan tepuk tangan kemudian pecah saat ternyata anak tersebut benar menjawab. Kini anak pemilik kerikil harus bertukar peran menjadi pemain yang membungkuk.

Suasana ceria bocah-bocah yang bermain dolanan tradisional Cublak-cublak Suweng merupakan satu di antara banyak potret kegembiraan anak-anak yang bisa ditemukan di Kampung Lali Gadget.

Potret lain adalah saat Irfandi mengumpulkan anak-anak di sebuah tanah lapang. “Tugasnya hari ini hanya bersenang-senang. Bermain bersama alam. Oke?” seru Irfandi penuh semangat kepada bocah-bocah yang tampak tidak sabar mencoba beragam permainan di Kampung Lali Gadget. Sambil bertepuk tangan mereka menjawab, “Oke!”.

Di atas tanah desa yang agak berbatu dengan dinaungi pepohonan rimbun dan siraman cahaya matahari dari celah-celahnya, semua anak saling berbaur mengikuti instruksi permainan yang diserukan oleh Irfandi. Beberapa dari mereka tampak cekikikan saat menyenggol teman di sampingnya saat diminta membentuk lingkaran. Senyum tidak pernah luput dari wajah-wajah polos mereka.

Suara gelak tawa dan seruan semangat juga terdengar membahana saat mereka saling mendukung temannya yang sedang meloncati susunan telapak kaki ketika bermain permainan tradisional. Debu dan panas matahari tidak mengurangi guratan tawa riang para bocah di dunia tanpa gawai tersebut.

Ceria bermain permainan tradisional | Dok. pribadi Achmad Irfandi

Ada beragam permainan tradisional ala pedesaan yang disediakan Kampung Lali Gadget. Mulai dari egrang, bakiak raksasa, engklek, sumpitan, petak umpet, gobak sodor, patil lele, katapel, tangkap ikan, perahu daun,  panahan, kelereng, layangan aduan, layangan hias, gelembung raksasa, trompet daun, hingga telepon kaleng, dan lain sebagainya.

Sambil bermain, anak-anak juga diajak mengenal lingkungan alam pedesaan dan tradisi. Anak-anak diajarkan memanfaatkan apa pun yang tersedia di alam untuk berkreasi, seperti membuat mobil-mobilan dari pelepah pisang. Kampung Lali Gadget juga menyediakan sejumlah alat olahraga, seperti basket, tenis, bola sepak, dan wall climbing.

Yang menarik, setiap anak yang ingin mengikuti rangkaian permainan dan kegiatan di Kampung Lali Gadget harus menitipkan ponsel mereka ke pembimbing. Masing-masing ponsel akan diberi label nama pemilik dan akan dikembalikan setelah aktivitas selesai. Tujuannya untuk menunjukkan komitmen anak-anak terbebas dari gadget selama beraktivitas di sana.

Meski tanpa gawaianak-anak tampak riang gembira menikmati setiap permainan yang ditawarkan Kampung Lali Gadget. Tepuk tangan, sorak sorai, canda, dan gelak tawa terpancar dari wajah-wajah polos mereka. Bahkan mereka tidak ragu berkubang dalam parit penuh lumpur demi totalitas menangkap ikan.

kampung lali gadget sidoarjo

Anak-anak bermain tangkap ikan | Dok. pribadi Achmad Irfandi

Apa yang nampak di Kampung Lali Gadget membuktikan bahwa sebenarnya anak-anak suka bermain, beraktivitas fisik, dan melupakan gadget. Hanya saja selama ini mereka ‘tersihir’ oleh gawai dan tidak ada orang dewasa yang menyelamatkan mereka dari sihir tersebut.

Bukan Melawan Teknologi

Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 33,44% anak usia dini berusia 0-6 tahun di Indonesia sudah bisa menggunakan ponsel pada 2022. Sementara, 24,96% anak usia dini di dalam negeri juga mampu mengakses internet.

Menganggapi hal ini, Irfandi berpendapat bahwa anak di rentang usia 0-6 tahun seharusnya banyak bermain dengan orang tua. Periode emas ini merupakan masa tumbuh kembang anak yang sebetulnya tidak memerlukan gadget.

Pasalnya anak harus memahami dan melakukan sebagaimana dunia ini bekerja. Bukan justru menikmati hidup yang dipermudah oleh gawai. Ia kemudian menambahkan bahwa usia anak di atasnya baru bisa dikenalkan gadget, namun masih terbatas.

Meski demikian, Irfandi menolak disebut melawan teknologi. Ia beralasan bahwa kita sebagai manusia tetap membutuhkan teknologi. Contohnya saat masa pandemi lalu, di mana semua orang terbantu oleh teknologi untuk tetap bisa beraktivitas meski harus di rumah saja.

Kampung Lali Gadget sejatinya tidak melawan teknologi, khusunya gadget, tapi mengimbangi aktivitas bermain gawai dengan aktivitas fisik. “Tugas kita mengimbangi saja. Jangan sampai kita dikendalikan oleh teknologi itu. Kita yang mengendalikan,” tukasnya.

Achmad Irfandi mengajarkan anak-anak bermain egrang | www.iniklg.com

Peran Orang Tua Tak Tergantikan

Dengan gaya bicara yang sederhana nan bersahaja, Irfandi mengatakan tidak ingin overclaimed bahwa Kampung Lali Gadget akan otomatis menyembuhkan anak dari kecanduan gawai. Menurutnya, bagaimana pun orang tua tetap berperan penting menjaga anak-anaknya dari bahaya kecanduan gadget. Ia melalui KLG hanya ingin mengimbangi aktivitas anak-anak antara gawai dan permainan tradisional.

Walaupun demikian, Irfandi kerap mendapatkan testimoni dari beberapa orang tua yang senang atas dampak positif sepulang bermain di KLG. Ada yang mengaku sikap anaknya kini menjadi lebih tenang dari yang sebelumnya mudah marah, atau anak pra-sekolah yang cepat belajar calistung karena saraf sensorinya berfungsi dengan baik akibat aktivitas fisik di Kampung Lali Gadget.

Potret anak-anak bemain bakiak raksasa | www.iniklg.com

Ada juga yang bertestimoni bahwa pengalaman bermain di KLG membuat hubungan ibu dan anak kini lebih baik. Sebagaimana yang diutarakan Siti Harnanik. “Biasanya susah diajak foto, tapi kemarin dia justru yang minta foto. Baru kali ini aku ngelihat senyumnya kayak gini. Sebelumnya susah.”

Agar tak sekedar pengakuan yang bersifat subjektif, Irfandi juga mempersilakan siapa pun yang ingin melakukan kajian dan penelitian tentang pengaruh program dan aktivitas di KLG terhadap anak-anak. Tampak sudah ada beberapa hasil penelitian yang dipublikasikan di situs Kampung Lali Gadget.

Perjalanan yang Tidak Mudah

Sejak dirintis hampir lima tahun yang lalu, usaha Irfandi menyelamatkan generasi dari kecanduan gadget mulai membuahkan hasil. Kini semakin banyak anak yang datang tempat ini untuk bermain. Bahkan beberapa anak di sekitar Sidoarjo rutin datang untuk mengenal permainan tradisional.

Namun, perjalanan mendirikan Kampung Lali Gadget bukan berarti tanpa kendala. Pria yang kerap memakai pakaian tradisional khas Sidoarjo tersebut mengaku hambatan yang ia hadapi beragam. Terutama soal kurangnya sumber daya manusia untuk bersama bergerak membangun KLG. Oleh karena itu, ia terus berusaha merekrut pemuda dan berbagai komunitas untuk bergabung sebagai relawan.

Irfandi juga mengenang saat terbentur prasangka masyarakat sekitar yang menyebabkan penolakan-penolakan pada awal berdirinya KLG. Ia berkata bahwa masyarakat sekitar masih belum teredukasi soal pentingnya membebaskan generasi muda dari gadget. 

Selain itu, Irfandi berterus terang bahwa saat ini masih terbentur dengan dana yang terbatas untuk mengembangkan Kampung Lali Gadget. Kondisi ini membuat fasilitas untuk ruang edukasi masih kurang memadai. Akhirnya ia dan para relawan berinisiatif memanfaatkan sumber daya yang ada sebagai fasilitas sederhana.

kampung lali gadget

Memanfaatkan gubuk sederhana sebagai sarana belajar anak | www.iniklg.com

Kontribusi Mendatangkan Kolaborasi

Irfandi sadar bahwa untuk membesarkan Kampung Lali Gadget, ia tidak bisa seorang diri. Apalagi, ia ingin “dunia” yang ia ciptakan tidak hanya soal bermain, namun juga mengandung unsur pendidikan dan kebudayaan, meski tetap dalam cara yang menyenangkan bagi anak-anak.

Bersyukur niat tulusnya mengatasi candu teknologi di kalangan anak-anak dan remaja mendatangkan pergerakan dari beberapa komunitas yang memiliki kepedulian yang sama untuk ikut berkolaborasi mengisi program di Kampung Lali Gadget. Sampai saat ini setidaknya ada 13 komunitas yang tergabung dalam Jaringan Penggerak Komunitas Kreatif.

Salah satunya komunitas BBW Tangunan, komunitas sosial edukasi yang menciptakan ruang belajar dengan berbagi ketrampilan membangun pengetahuan. Kegiatan yang pernah dilakukan BBW bersama KLG adalah mengajarkan anak-anak membuat permainan tradisional dari batang padi kering.

Komunitas BBW Tangunan mengajarkan anak membuat mainan dari batang padi kering | www.iniklg.com

Sedangkan soal dana, semua kegiatan yang ada di Kampung Lali Gadget bersifat nirlaba, yang mana pendanaan kegiatan sehari-hari berasal dari beragam sumber. Kontribusi layanan setulus hati yang diberikan KLG juga mampu menghasilkan kolaborasi berupa donasi dari masyarakat atau organisasi yang peduli, maupun swadaya masyarakat. Selain tentu saja berasal dari kegiatan terprogram dan berbayar di KLG sendiri.

Bagi masyarakat sekitar, kehadiran Kampung Lali Gadget juga secara bertahap dapat memberikan manfaat secara ekonomi dalam bentuk penumbuhan ekonomi kreatif pedesaan. Warga jadi memiliki peluang menjual bermacam kerajinan tangan dan alat permainan tradisional khas Sidoarjo. Ada juga paket pelatihan pembuatan Udeng Pacul Gowang (kain ikat kepala khas Sidoarjo) oleh warga.

Aneka alat permainan tradisional yang dijual di KLG | www.iniklg.com

Achmad Irfandi, Sosok Peduli Generasi dan Mencintai Tradisi

“Hompipah alaihom gambreng.”

Begitu jawaban Achmad Irfandi, pemuda bergelar Master Pendidikan dan Sastra Bahasa Indonesia dari Universitas Negeri Surabaya, saat ditanya apa pesan-pesannya bagi anak-anak Indonesia.

Rupanya kalimat tersebut bukan sekedar kalimat yang diucapkan saat sedang bermain. Namun merupakan gabungan dari beberapa kata dari bahasa sansekerta yang artinya;  Hom (Tuhan), Pimpah Alaihom (kembali pada Tuhan), dan Gambreng (Lakukanlah).

Irfandi kemudian menjelaskan bahwa manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali pada Tuhan. Maka, sebelum kita kembali pada Tuhan, kita harus melakukan sesuatu untuk dunia dan peradaban dengan berkontribusi terhadap penyelesaian masalah, dan lain sebagainya.

Pesan ini terbukti telah ia praktekkan sendiri dengan mendirikan Kampung Lali Gadget sebagai bentuk kontribusinya membantu mengurangi kecanduan gawai yang sedang dialami generasi muda masa kini. Meski apa yang ia jalani tidak linear dengan background pendidikan yang dipunyai, panggilan nuraninya jauh lebih kuat daripada sekedar mengikuti gengsi untuk berkarir sesuai titel akademik.

Kecintaan Irfandi terhadap budaya dan tradisi lokal juga tercermin dalam dedikasinya melestarikan permainan tradisional kepada anak-anak. Menurutnya, objek kebudayaan yang paling mudah dipelajari anak-anak adalah permainan. Lalu, guna menyelamatkan generasi dari dampak negatif gadget, ia juga harus memasukkan nilai-nilai kebudayaan dan kearifan lokal.

Irfandi juga seringkali dengan bangga mengenakan Udeng Pacul Gowang, yaitu sebuah ikat kepala berupa kain panjang berbentuk persegi empat. Kebiasaannya tersebut sebagai bentuk pengenalan elemen pakaian tradisional khas Sidoarjo.

Potret senyum ramah khas Achmad Irfandi | Dok. pribadi Achmad Irfandi

Kegigihan Irfandi bersama Kampung Lali Gadget dalam membebaskan anak-anak dan generasi muda harapan masa depan Indonesia dari belenggu gadget, menjadikannya sosok inspiratif yang mendapatkan apresiasi dari Satu Indonesia Award Semangat Astra Terpadu pada tahun 2021.

Alih-alih mematenkan ide briliannya dalam menciptakan “dunia” tanpa gawai, Irfandi justru berharap banyak daerah lain di luar Sidoarjo meniru langkahnya. Ia bercita-cita di masa depan Kampung Lali Gadget bukan lagi hal yang istimewa, melainkan suatu kelumrahan di setiap daerah.

*****

Sumber tulisan:

  • Wawancara langsung dengan Achmad Irfandi melalui pesan WhatsApp
  • https://www.kominfo.go.id/content/detail/13547/kecanduan-gawai-ancam-anak-anak/0/sorotan_media
  • Data statistik jumlah anak mengakses ponsel dan internet: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/02/16/hampir-separuh-anak-usia-dini-sudah-gunakan-hp-dan-mengakses-internet-pada-2022
  • Video Youtube Kampung Lali Gadget: https://www.youtube.com/watch?v=ZBVSf93ibdo
  • Website resmi Kampung Lali Gadget: www.iniklg.com

Sumber foto:

  • Dokumen pribadi Achmad Irfandi
  • Website resmi Kampung Lali Gadget: www.iniklg.com
  • Website Pos Jabar: www.posjabar.com

About The Author

Fitri Apriyani

You may also like