Matchadreamy

Istri Bekerja dan Tidak Bekerja: Topik yang Tiada Habisnya

Fitri Apriyani
Fitri Apriyani
Istri bekerja vs istri tidak bekerja, mana yang lebih baik?

Istri Bekerja dan Tidak Bekerja: Topik yang Tiada Habisnya

“Setiap istri harus bisa bekerja. Soalnya punya suami itu, kalau gak dipanggil Tuhan, ya diambil pelakor.”

Begitu kira-kira statement yang pernah lewat di timeline sosial media saya. Entah itu di Instagram atau Twitter.

Intinya statement itu memotivasi dengan cara fear mongering (menakut-nakuti) agar para istri di luar sana tetap punya pekerjaan atau penghasilan sendiri, alih-alih hanya mengandalkan jatah nafkah dari suami.

Sebab, menurut statement itu, suami bisa saja tiba-tiba dipanggil Yang Mahakuasa (meninggal dunia), atau diambil pelakor (perebut laki orang).

Duh, terdengar mengerikan! Kalau beneran terjadi, mau tidak mau para istri lah yang nantinya harus mengambil peran pencari nafkah demi menghidupi dirinya sendiri dan anak-anaknya.

Bagi saya yang juga seorang istri, statement itu memang terdengar menakutkan, namun mampu membangkitkan naluri alamiah untuk bertahan hidup, dengan cara bekerja dan berpenghasilan.

Tapi, apa semua istri harus bekerja dan berpenghasilan sementara di beberapa kasus mereka juga dibebankan oleh urusan domestik rumah tangga?

Working wife vs full time wife

Working wife adalah istri-istri yang tetap bekerja, baik di kantor sebagai karyawan swasta, freelancer, maupun yang memiliki bisnis sendiri.

By the way, saya sengaja menyebut kata “wife” daripada “mom”, sebab tidak semua perempuan yang sudah menikah memiliki atau mau mempunyai anak.

Sedangkan full time wife adalah istri yang tidak memiliki pekerjaan atau penghasilan sendiri, yang mana mereka mengabdikan diri menjalankan tugas sepenuhnya sebagai istri dan atau ibu rumah tangga.

Kesibukan mereka mencakup mengurus suami, anak, dan urusan domestik rumah tangga seperti memasak, mencuci, bersih-bersih, dan lain sebagainya.

Meskipun ada di antara full time wife yang cukup beruntung memiliki ART, sehingga kerjaannya hanya shopping, ke salon, pokoknya bak princess tanpa beban.

Tapi yang saya maksud di tulisan ini adalah full time wife yang kurang memiliki privilege tersebut, alias aktivitasnya hanya seputar suami, anak, dan rumah.

Nah, topik perbincangan working wife vs full time wife ini belakangan kembali santer terdengar di jagat dunia maya, khususnya di Twitter.

Topik ini bermula saat sebuah akun berpendapat bahwa sebenarnya ia pun ingin menjadi istri yang ‘ongkang-ongkang’ kaki tidak bekerja, tapi ia urungkan saat tahu bagaimana ibunya yang dulu tidak pernah bekerja, tiba-tiba mendapat tanggung jawab bertumpuk menggantikan ayahnya yang meninggal dunia.

Baginya, terlalu bergantung pada seseorang itu sangat riskan, sebab kita tidak tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari.

Tentu saja, tweet seperti itu mengundang beragam tanggapan. Ada yang tidak sependapat jika istri yang tidak bekerja disebut hanya ongkang-ongkang kaki di rumah, karena nyatanya para full time wife ini memiliki aktivitas yang tidak kalah menyibukkan dan melelahkan dibanding para working wife. 

Serta beragam argumen lainnya yang membela pilihan hidupnya masing-masing, entah sebagai working wife maupun full time wife. Sungguh perdebatan yang tiada habisnya.

Namun, yang menarik ada pula full time wife yang mengaku ingin juga memiliki pekerjaan dan punya uang sendiri.

Ada juga para istri yang bekerja, ingin istirahat dan memiliki lebih banyak waktu bersama keluarga sebagaimana para istri yang tidak bekerja. Rumput tetangga selalu kelihatan lebih hijau kan?

Baca Juga : Aku Memilih Menulis Sebagai Sarana Aktualisasi Diri sebagai Full Time Wife

Menjadi working wife agar lebih terjamin di masa depan?

Sebagian besar alasan seseorang memilih menjadi working wife adalah untuk meminimalisir resiko finansial di masa depan. Seperti yang disebutkan di statement awal, misal terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti suami meninggal dunia, sakit parah, (amit-amit) direbut pelakor, atau keadaan darurat lainnya, istri masih memiliki daya untuk mendapatkan cuan demi membuat dapur tetap ngebul. 

Sehingga lebih terjamin dan terhindar dari utang atau menyusahkan keluarga dan teman.

Tidak hanya itu, di jaman di mana biaya hidup semakin melambung tinggi, salah satu manfaat istri bekerja, diharapkan bisa berkontribusi bagi keuangan rumah tangga, agar bisa mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Atau memutuskan rantai sandwich generation yang telah diwariskan turun-temurun.

Namun, menjadi working wife bukan berarti tanpa tantangan, terutama bagi kalangan menengah atau bawah yang tidak punya cukup budget untuk membayar ART guna mengurusi urusan-urusan domestik.

Apalagi jika memiliki suami yang enggan membantu pekerjaan mereka di rumah, mau tidak mau, para istri yang bekerja itu juga lah yang harus turun tangan mengurusi semuanya.

Bekerja iya, mengurus rumah tangga juga iya. Alhasil mereka jadi double agent dengan tugas menumpuk. Capeknya jadi double!

Full time wife bukan berarti tidak bekerja

Banyak full time wife, tidak terima kalau mereka disebut hanya ‘ongkang-ongkang’ kaki setiap hari di rumah, lalu mendapat jatah bulanan dari suami.

Sebab kenyataannya para full time wife tidak seperti dalam utopia seperti yang dituduhkan.

Mereka juga memiliki banyak tugas yang harus dilakukan, tidak ada hari libur, dan tidak terbatas waktu. Sedihnya lagi, mereka juga tidak digaji.

Meski kelihatannya aktivitas mereka hanya seputar dapur, kasur, sumur, tidak bisa dipungkiri bahwa para full time wife juga kadang harus mengurusi urusan dengan skill level karyawan kantoran seperti mengelola keuangan rumah tangga, mengurusi administratif di kantor pemerintahan dan sekolah anak, booking tiket pesawat dan hotel, mengurus ini itu layaknya sekretaris pribadi.

Jadi intinya, menjadi full time wife alias istri yang tidak ‘bekerja’ bukan berarti gak ada kerjaan, tapi mereka juga memiliki peran dan tugas yang signifikan, dengan kadar stress yang tinggi, walau tidak berpenghasilan.

Di antara mereka juga sebenarnya ingin tetap bekerja sambil mengurus keluarga, tapi tidak cukup beruntung memiliki support system yang memadai, sehingga mau tidak mau harus rela mengubur ambisinya sebagai wanita karier demi fokus mengurusi keluarga.

Mana yang lebih baik: full time wife or working wife?

Baik istri yang bekerja dan tidak bekerja masing-masing ada enak dan gak enaknya. Setiap pilihan hidup mempunyai konsekuensi masing-masing.

Kalau ditanya mana yang lebih baik antara menjadi full time wife dan working wife, tentu tidak ada jawaban yang pasti.

Sebab, meski katanya menjadi working wife bisa membuat hidup lebih terjamin di masa depan, nyatanya menjadi full time wife bisa juga terjamin secara finansial dengan karir dan bisnis suami yang lancar jaya, tidak ada utang, memiliki anak yang bisa sekolah tinggi, menikah dan berkeluarga tanpa menyusahkan.

Di sisi lain ada juga rumah tangga dengan working wife yang kocar-kacir finansialnya akibat gaya hidup yang terlalu tinggi, atau mendapat ujian tidak disangka-sangka.

Begitu pun sebaliknya, statement mengerikan di atas bisa saja menimpa siapa saja, dan kalau bisa harus diminimalisir resikonya dari sekarang.

Tapi kembali lagi ke takdir Yang Mahakuasa, kita hanya bisa berusaha, tapi Allah yang menentukan. 🙂

Namun, jika keadaannya memungkinkan, ada baiknya jika para istri tetap berpenghasilan meski mungkin tidak seberapa dan caranya pun tidak harus keluar rumah.

Kalau kata Mbak Iim Fachima, seorang business woman dan founder Queen Rides, “Bekerja dan berpenghasilan, selain mengasah otak, itu ngasah mental dan untuk eksistensi. Skill cari uang adalah skill yg perlu terus dilatih. Jangan mati atau dimatikan”.

Yang penting pekerjaannya tidak melanggar norma agama atau norma apa pun ya.

Pun demikian, saya dan para istri yang bekerja (seharusnya), tidak men-judge para istri yang tidak bekerja sebagai wanita yang tidak memiliki kemauan untuk bertahan hidup, tidak mau maju, dan ungkapan judgemental lainnya.

Sebab setiap orang memiliki kondisi keluarga yang berbeda dan alasan tersendiri untuk memilih jalan hidup yang dilakukan.

Sebaliknya, para full time wife juga seharusnya tidak merasa paling berbakti pada keluarga karena telah mengabdi pada suami dan anak selama satu hari penuh.

Apalagi menganggap para istri yang bekerja tidak sayang keluarga, dan mendapat pahala yang lebih sedikit daripada dirinya. Mari budayakan women support women!

Nah, bagaimana menurut teman-teman? Diskusi di kolom komentar yuk! 😀

About The Author

Fitri Apriyani

You may also like