Matchadreamy

Pulau Nusakambangan, Sisi Menawan Wisata di Pulau Penjara

Fitri Apriyani
Fitri Apriyani
Pulau Nusakambangan, sebuah pulau terpencil yang terkenal mengerikan karena di dalamnya terdapat lapas atau penjara bagi para narapidana kelas kakap. Apakah semenyeramkan itu?

Pulau Nusakambangan, Sisi Menawan Wisata di Pulau Penjara

Sebuah perahu kayu menunggu saya, suami, adik ipar, dan dua sepupu ipar lainnya di bibir Pantai Teluk Penyu, Cilacap Selatan.

Kami telah sepakat untuk mengunjungi salah satu pantai di Pulau Nusakambangan pada libur lebaran tahun 2022 kali ini.

Hari sebelumnya kami sudah membuat janji terlebih dulu dengan pemilik kapal yang juga seorang nelayan untuk mengantarkan kami ke pulau tersebut.

Sekilas saya melirik ke arah laut untuk mengecek apakah kondisi laut saat itu apakah memungkinkan untuk menyebrang ke pulau yang jaraknya tidak terlalu jauh dari daratan Cilacap.

Meski masih pagi, air laut saat itu bisa dibilang pasang dengan jenis ombak yang tinggi.

Karena ini pertama kalinya menyebrang dengan perahu kecil, saya sempat merasa takut dibayang-bayangi kengerian di terpa ombak besar di tengah laut layaknya di film-film.

Tapi semua perasaan itu terkalahkan oleh rasa penasaran saya untuk mengunjungi pulau terpencil di selatan Jawa itu.

Pulau yang terkesan mengerikan karena di dalamnya terdapat penjara berkeamanan tingkat tinggi bagi para narapidana kelas kakap dengan hukuman berat bahkan hukuman mati.

Masih lekat dalam ingatan nama-nama seperti Tommy Suharto, Johny Indo, Pramudya Ananta Noer yang pernah mendekam di pulau ini.

Atau Amrozi cs yang telah dieksekusi mati di pulau dengan julukan Alcatraz-nya Indonesia ini.

Di detik-detik awal meningggalkan bibir pantai, perahu memang agak berguncang hebat karena berkali-kali menerjang ombak besar.

Namun keadaan berubah menjadi menyenangkan ketika kami sudah berlayar menyusuri Selat Segara Anakan, selat yang memisahkan Cilacap Selatan dan Pulau Nusakambangan.

Perahu yang dengan lincah berlayar membelah air laut yang tenang dengan kecepatan sedang justru terasa mengasyikkan.

Angin kencang dari arah berlawanan menerjang wajah kami di tambah hangatnya cahaya matahari pagi itu.

Saya sangat menikmati melihat setiap jengkal pemandangan yang terbentang di sekitar kami. Langit cerah dengan awan putih tipis di langit, serta birunya air laut yang kami lewati.

Tak lupa kami berselfie ria di atas perahu.

perahu ke nusakambangan

Pepohonan lebat bernuansa hijau di Pulau Nusakambangan terlihat jelas dari arah depan sana.

Di sisi kiri kami, sejauh mata memandang adalah hamparan lautan lepas yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia.

Di sana ada beberapa kapal tanker pengangkut minyak.

Saat itu, kebetulan sedang ada peristiwa terbakarnya beberapa kapal nelayan yang berlabuh di Dermaga Betere dan Dermaga Wijayapura, Cilacap.

Tidak jauh dari kami tampak ada beberapa bangkai kapal yang hangus terbakar.

Tak lama, kami tiba di pelabuhan Nusakambangan Timur. Kurang lebih lama perjalanan kami hanya 10 menit.

Belum juga menginjakkan kaki ke daratan, kami harus pasrah bagian bawah pakaian kami kembali basah saat turun dari perahu.

Menyusuri Hutan Eksotis Pulau Nusakambangan

Saat memasuki Pulau Nusakambangan, sudah ada petugas yang berdiri di pintu masuk. Ia meminta kami untuk melakukan pembelian tiket masuk ke petugas lain yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Tidak ada loket khusus, hanya ada meja dan kursi kayu sederhana tempat petugas melayani wisatawan yang membeli tiket.

“Harga tiketnya Rp 5.000/orang ya,” ujar petugas itu ramah.

Setelah membayar, kami meneruskan perjalanan kami menyusuri jalan setapak berbatu untuk masuk lebih jauh ke dalam hutan menuju pantai.

Baru beberapa langkah, saya sudah bisa mencium bau dedaunan dan tanah basah yang khas.

Pagi selepas subuh tadi memang telah turun hujan yang cukup deras, sehingga membuat jalan yang kami lewati agak licin dan becek.

Kami pun harus ekstra berhati-hati memperhatikan setiap langkah kami.

Sejauh yang bisa ditangkap oleh mata hanyalah pepohonan dan tumbuhan lebat yang tumbuh liar di setiap sisi pulau ini.

Tak heran jika pulau ini disebut sebagai cagar alam, karena memang hutan di sini masih asli dan dilindungi.

“Lepas aja yuk maskernya, udaranya enak banget buat dihirup,” ujak suami.

Benar saja, saat kami membuka masker, udara sejuk dingin yang kaya oksigen langsung terasa menyegarkan saat dihirup.

Seolah paru-paru kami pun ikut berterima kasih karena telah memberikan asupan udara seberkualitas ini.

pulau nusakambangan

Sejenak berfoto di bawah rimbunnya pepohonan

Waktu itu masih pukul sekitar 09.30, belum banyak wisatawan lain yang datang.

Jadi hanya kami berlima jalan menyusuri hutan lebat ini, ditemani suara binatang hutan yang sayup terdengar.

Jalan yang kami lewati kadang berupa jalan berbatu, kemudian berganti menjadi tanah lunak yang becek, bahkan tergenang air.

Girangnya saya bisa menyusuri hutan eksotis ini, merasa bak berada di film dokumenter National Geographic.

“Nanti kalau kaki kita digigit pacet jangan panik ya. Biarin aja sampai dia kenyang menghisap darah kita,” ujar salah satu sepupu ipar yang sudah berpengalaman mendaki gunung.

“Hah? Emang gak sakit?” tanya saya yang agak panik, takut kalau-kalau ada pacet hinggap di kaki saya atau yang lain.

“Enggak, cuma geli aja. Soalnya misal pas gigit, pacetnya langsung dibuang, takutnya malah giginya nyangkut di kulit kita, yang malah bikin pendarahan,” jawabnya lagi.

Dalam hati, saya berharap tidak menemui pacet atau hewan mengerikan lainnya seperti ular.

Walaupun suka berwisata alam, tapi saya belum terlalu berani dengan kemungkinan tersebut.

Tak lama kami menemukan sebuah parit kecil berair keruh dari sisi kanan yang membengkok ke arah depan kami.

Ada sebuah jembatan terbuat dari empat batang pohon dengan pegangan dari bambu ala kadarnya untuk menyebrangi parit tersebut.

Kami harus berhati-hati melewati jembatan tersebut, karena kalau tidak, bisa-bisa kami tercebur masuk ke parit.

Tidak jauh dari parit, kami sudah mulai mendengar sayup-sayup suara deburan ombak dari arah kiri kami pertanda kami sudah mendekati sebuah pantai.

Pantai Karang Bolong Nusakambangan

Total lama perjalanan tracking kami kira-kira 15 menit untuk sampai ke pantai pertama, Pantai Karang Bolong.

Di sana kami melihat sudah ada beberapa wisatawan lain yang dengan riang berenang di pantai atau sekedar piknik di pinggirnya.

Dari sekilas yang saya lihat, pantai ini memiliki pasir berwarna putih bersih, tidak seperti pasir di Pantai Teluk Penyu yang berwarna hitam.

Sayangnya, karena kondisi air laut saat itu sedang pasang membuat pantai tersebut tampak tidak terlalu luas, dan seperti tidak ada space lagi bagi kami untuk join sekedar duduk-duduk di bibir pantai.

pantai karang bolong nusakambangan

Sekilas Pantai Karang Bolong Nusakambangan

Kami pun memutuskan melanjutkan perjalanan menuju pantai lainnya yang terdekat dari sini, Pantai Karang Pandan.

Benteng Karang Bolong Bernilai Sejarah

Di perjalanan menuju Pantai Karang Pandan, kami melewati lorong gerbang Benteng Karang Bolong.

benteng karang bolong nusakambangan

Benteng ini dipenuhi tumbuhan dan semak belukar yang tumbuh liar.

Saat masuk ke lorong tersebut, tampak dinding benteng yang sudah tua dan lembab, serta ditumbuhi lumut di banyak bagian.

Sebenarnya Benteng Karang Bolong merupakan salah satu destinasi wisata di Pulau Nusakambangan yang bernilai sejarah.

Jika menelusuri lebih detail, di dalam benteng terdapat beberapa ruangan dengan bermacam fungsinya, mungkin seperti ruangan-ruangan yang ada di Benteng Pendem, yang berada di kawasan Pantai Teluk Penyu.

Tidak jauh dari situ, terdapat meriam dan prasasti sebagaimana ditulis lebih lengkap di blog Mas Nasirullah Sitam.

Namun, karena tujuan utama kami kali ini adalah wisata pantai, jadi kami tidak berlama-lama di sana.

Pantai Karang Pandan yang Menawan

Akhirnya kami menemukan pantai lagi, Pantai Karang Pandan.

Pantai ini lebih bagus daripada pantai sebelumnya, karena garis pantai di sini lebih panjang dan area bibir pantainya lebih luas meski air laut masih pasang.

Di pantai ini, kami bisa sepuasnya memanjakan mata dengan memandang ke arah laut lepas yang berupa air laut jernih luas tak berujung.

Gulungan ombak silih berganti menghempas ke hamparan pasir putih di pinggir pantai.

Birunya langit cerah dan awan setipis kapas seperti menyempurnakan lukisan Yang Mahakuasa di siang itu.

pantai nusakambangan karang pandan

Saya langsung melipir ke tengah pantai menikmati air laut sambil kemudian terkikih sendiri saat diterpa ombak yang lumayan besar.

Di pinggir pantai ini terdapat batu karang landai yang biasa menjadi spot foto favorit wisatawan.

Sayangnya karena kondisi air laut selatan sedang tinggi, wisatawan dilarang berada di sekitar karang-karang tersebut.

Penjaga pantai berkali-kali meneriaki wisatawan melalui pengeras suara agar tidak mendekati area batuan karang.

pantai karang pandan nusakambangan

Di sini juga terdapat fasilitas toilet umum dan warung penjaja makanan.

Kami menggelar tikar untuk duduk-duduk santai tak jauh dari warung agar kemudian tidak terlalu jauh untuk memesan makanan pengganjal perut.

pantai nusakambangan

Puas bermain air laut, kami memesan makanan. Saya sendiri memesan tahu masak seharga hanya Rp 15.000/porsi yang mana rasanya enak sekali.

Semakin lama, wisatawan yang datang semakin banyak. Untungnya kami sudah puas menikmati pantai cantik ini saat memutuskan untuk kembali pulang.

Pantai Karang Pandan ini mungkin memang tidak se-“wah” pantai lain yang sudah mahsyur seperti pantai-pantai yang ada di Bali, namun karena lokasinya yang unik dan antimainstream menjadikan pantai ini justru sangat berkesan bagi saya.

Sebenarnya masih banyak pantai-pantai lain di Pulau Nusakambangan ini seperti Pantai Karang Bandung, Kalipat, Kali Kencana, Permisan, dan pantai lainnya yang tidak kalah menawan.

Sayangnya pantai-pantai tersebut berlokasi agak jauh dari pelabuhan, yang mana harus ditempuh dengan berjalan kaki selama satu jam atau lebih melewati medan jalan yang mungkin akan lebih ekstrim dan menantang.

Namun, tidak menutup kemungkinan saya dan lainnya akan berkunjung ke sana di lain kesempatan.

Saya sendiri sebetulnya sangat penasaran dengan Pantai Permisan, pantai yang menjadi tempat latihan para prajurit Kopassus, yang juga termasuk daerah perawan karena tidak semua wisatawan bisa mengunjungi pantai tersebut.

Info yang saya dapatkan dari orang yang pernah mengunjungi Pantai Permisan, hanya orang-orang tertentu yang boleh berkunjung ke pantai tersebut, seperti kerabat atau kenalan petugas di lapas Nusakambangan atau orang umum dengan surat ijin.

Ia menyebutkan adanya potensi bahaya di pantai tersebut karena terdapat banyak napi—karena lokasinya tepat di samping LP Permisan—dan hewan liar yang mendadak sering lewat ke jalan.

Mengetahui hal tersebut, saya justru tambah penasaran seraya berharap bisa diberi kesempatan untuk mengunjunginya suatu hari nanti.

Balada Menunggu Perahu Untuk Pulang

Kondisi pelabuhan saat kami hendak kembali ke Teluk Penyu ramai oleh wisatawan yang menunggu perahu jemputannya masing-masing.

Wisatawan hanya boleh menaiki kapal yang sama dengan kapal saat mereka datang tadi.

Akibatnya terjadi semacam penumpukan di sekitar pantai pelabuhan.

nusakambangan cilacap

Kami pun harus menunggu sekitar 30 menit sebelum akhirnya perahu bernama “Tunggal Putri” sewaan kami kelihatan dari kejauhan.

Kami pun bergegas mendekati pelabuhan bersiap naik ke perahu.

Sayangnya ada beberapa orang lain yang sudah lebih dulu menunggu tepat di bibir pantai pelabuhan.

Mereka dengan sigapnya naik ke atas perahu mendahului kami, yang menyebabkan perahu overload dan tidak ada ruang tersisa untuk kami.

“Saya antar penumpang ini dulu ya Mas Mbak. Nanti saya balik lagi,” ujar sang nelayan pemilik perahu.

Setelah mengiyakan, kami memutuskan menunggu di bibir pantai agar nanti tidak keduluan penumpang lain lagi.

Di bawah terik matahari yang tepat berada di atas kepala, kami menutupi wajah dan kepala kami untuk menghalau panas dengan tangan atau tas seadanya.

Awalnya, kami sabar akan teriknya matahari yang menyengat di siang itu sambil melihat perahu lain yang datang dan pergi silih berganti.

Namun sialnya, perahu sewaan kami terasa lama sekali datang menjemput kami.

Di antara kepanasan dan kegalauan atas kapal yang tak kunjung tiba, saya mulai agak menggerutu.

“Perasaan jarak dari sini ke Teluk Penyu gak jauh-jauh amat, kok perahunya lama banget sih datengnya?!”.

“Mungkin karena harus nunggu giliran dengan perahu-perahu lain,” jawab suami menenangkan.

Saya kembali meneguk air mineral sebanyak mungkin agar tidak dehidrasi, dan menyarankan yang lain untuk melakukan hal yang sama.

Kira-kira satu jam lamanya kami “dipanggang” di bawah dahsyatnya panas matahari siang itu, barulah si Tunggal Putri kembali terlihat.

Kami bergegas, tidak mau keduluan lagi.

Ternyata kali ini pun, tidak hanya kami yang menunggu, tapi ada beberapa penumpang lain.

“Kok sekarang ramean? Bukan kita doang ya?,” ujar salah seorang penumpang lain dengan nada yang menurut saya agak kasar, seolah keberadaan kami tidak diharapkan ikut naik perahu bersama rombongannya.

Kami bergeming lanjut naik ke atas perahu dan segera mengenakan pelampung.

Di perjalanan pulang kali ini saya merasa lebih berani, bahkan sampai terus-terusan iseng memasukkan tangan ke dalam laut, menikmati arus air yang tercipta dari gerakan perahu yang sedang berlayar hingga sampai ke Pantai Teluk Penyu dengan selamat.

Informasi Tambahan Wisata ke Pulau Nusakambangan

Lokasi : Cilacap Selatan, Jawa Tengah

Biaya :

  1. Masuk ke Pantai Teluk Penyu : Rp 15.000/motor
  2. Parkir motor : Rp 5.000/motor
  3. Sewa perahu pulang pergi : Rp 30.000/orang
  4. Tiket masuk Pulau Nusakambangan : Rp 5.000/orang
  5. Toilet umum : Rp 2.000/orang, mandi Rp 5.000/orang

Fasilitas Umum :

  • Toilet umum

About The Author

Fitri Apriyani

You may also like