Balada Mudik Ke Padang Naik Bus — Marhaban yaa Ramadhan. Puji syukur kita bisa bertemu lagi di bulan Ramadhan tahun ini. Baru memasuki hari kedua bulan Ramadhan, topik mudik sudah mulai dibahas di mana-mana.
Saya jadi ingat pengalaman saya dan keluarga (Ayah, Mama dan Adik) mudik ke Padang pada tahun 2018 lalu dengan menggunakan bus.
Saat itu, melakukan perjalanan ke kampung halaman atau mudik, sangat mudah, tidak seperti saat musim pandemi COVID-19 sekarang.
Mau tidak mau, masyarakat harus dipaksa menunda (lagi) rasa rindu bertemu dengan sanak keluarga di kampung halaman, karena larangan mudik yang dikeluarkan pemerintah, menyusul pernyataan sebelumnya atas tidak adanya larangan mudik.
Sebenarnya tulisan ini sudah pernah dipublikasikan di blog lama saya, tapi karena alamat blog tersebut sudah mati, saya jadi ingin membagi pengalaman tersebut di blog baru ini.
Disclaimer : Saya menyebut ‘Padang’ di sini maksudnya adalah Sumatera Barat secara umum ya, bukan Padang ibukota Sumatera Barat itu sendiri. Tujuannya agar lebih mudah dipahami pembaca saat sekilas membaca judulnya.
Oke, jadi tujuan saya kembali men-share pengalaman ini selain sebagai dokumentasi pribadi, tetapi juga semoga bisa bermanfaat untuk teman-teman yang suatu saat mungkin ingin mudik ke Padang juga dengan naik bus.
Atau bagi yang sekedar ingin tahu suka-dukanya.
Daftar Isi
Mudik ke Padang, Kenapa Naik Bus?
Honestly, faktor utamanya adalah budget kami yang terbatas saat itu, hehe. Waktu itu kami berangkat pada H-2 lebaran (Rabu, 13 Jun 2018), yang mana harga tiket pesawat sedang ‘gila-gilaan’ mahalnya, yaitu mencapai Rp 1.500.000 s.d. 1.700.000 per orang (hari biasa hanya sekitar Rp 500.000).
Sedangkan harga tiket bus yang kami naiki adalah Rp 625.000 per orang (kelas eksekutif). Lumayan kan selisih harga tiketnya untuk kami sobat ‘misqueen’ hehe.
Alasan lainnya karena letak kampung halaman Ayah, berada agak jauh dari Bandara Minangkabau juga sih. Lalu kami juga ingin merasakan sensasi menelusuri jalan lintas Sumatera dengan bus.
Persiapan Mudik
Yang harus disiapkan saat akan mudik ke Padang naik bus, terutama adalah kondisi fisik tentunya. Sebelum hari keberangkatan disarankan untuk memperbanyak istirahat dan minum vitamin bila diperlukan.
Bawalah baju seperlunya, jangan terlalu banyak, agar barang bawaan tidak merepotkan. Ya walaupun saya akui, sebagai perempuan, sulit untuk menerapkan hal ini. Iya gak?
Perjalanan mudik saat itu masih dalam bulan Ramadhan, kami sekelurga memutuskan untuk tetap berpuasa. Pertimbangan kami, karena nanti di perjalanan kami paling hanya tidur di dalam bus, jadi masih memungkinkan untuk berpuasa. Jadi, kami membawa bekal makanan sendiri untuk sahur dan berbuka, supaya tidak ribet beli makanan.
Dan yang harus banget dibawa menurut kami adalah Antimo. Supaya gak mabuk perjalanan? No, tapi supaya gampang tidur selama di perjalanan, karena Antimo ini kan efeknya bikin ngantuk banget.
Jadi walaupun perjalanannya lumayan memakan waktu, kita terselamatkan dari rasa bosan karena banyak tidurnya hehe.
Mudik ke Padang Naik Bus NPM
Bus yang kami naiki adalah Bus PO NPM (Naiklah Perusahaan Minang). Sebenarnya ada bus merek lain, seperti Bus Lorena, ALS, dll.
Tapi lagi-lagi kami harus menyesuaikan budget yag kami punya, dan bus ini juga banyak direkomendasikan oleh teman Ayah yang sudah sering mudik ke Padang naik bus.
Bus NPM ini adalah bus asli punya orang minang. Katanya sih orang minang umumnya sudah tahu kiprah bus ini. Sudah lama beroperasi juga.
Berbeda dengan saya, yang baru pertama kali dengar saat mau mudik, hehe. Begini penampakan busnya :
Keadaan dalam bus lumayan bersih dan nyaman. Kursi penumpangnya empuk. Sandarannya bisa diatur hingga berapa derajat jika ingin tidur. Asal jangan sampai menganggu penumpang di belakang ya.
Saya suka bentuk kacanya yang lebar. Posisinya berada di bawah bahu, sehingga penumpang, selain bisa melihat pemandangan perjalanan dengan lebih mudah, juga bisa melihat kendaraan lain yang ada di sisi bus.
Sayangnya kami tidak membawa bantal leher untuk tidur. Niatnya supaya gak ribet karena kebanyakan bawaan. Tapi alhasil leher kami semua pegel-pegel setelah tidur selama di perjalanan huhu.
Perjalanan Pun Dimulai
Day 1
Bus Berangkat dari Terminal Kali Deres
Kami berangkat pada Rabu, 13 Juni 2018, jadi pas banget dengan hari pertama cuti lebaran. Menurut jadwal yang tertera di tiket, bus akan berangkat jam 09.00 dari terminal Kali Deres, Jakarta Barat, Tapi you know lah pasti bakalan ngaret, dan ternyata benar, bus baru berangkat jam 12.00!
Dari terminal Kali Deres, bus langsung masuk tol sekitar Cengkareng menuju Pelabuhan Merak. Karena kami semua puasa dan saat sahur sengaja minum Antimo, jadilah kami tertidur pulas selama perjalanan. Bangun-bangun kami sudah masuk daerah Banten, dekat Pelabuhan Merak.
Bus berhenti di tempat pemberhentian awal, yaitu mushola sekitar sebelum Pelabuhan Merak. Agak sebel juga sih, karena padahal sebentar lagi sudah tinggal naik kapal, solatnya kan bisa di dalam kapal. Apalagi tadi berangkatnya juga udah kesiangan banget. Tapi ya sudahlah.
Ternyata banyak juga penumpang yang turun untuk solat Dzuhur. Mungkin memang lebih nyaman solat di musholla kali ya, daripada di dalam kapal. Duh, jadi nyesel karena udah ngedumel duluan tadi.
Ayah dan Mama ikutan turun untuk sholat. Sementara aku tetap di dalam bus, karena sebelumnya sudah solat duluan. Adik sendiri sedang berhalangan.
Sampai di Pelabuhan Merak
Alhamdulillah proses bus naik kapal berjalan dengan lancar. Kami sudah pasrah aja bakal kena macet, karena tadi melihat antrian kendaraan yang lumayan panjang untuk naik ke kapal. Hal yang lumrah di puncak arus mudik.
Jujur ini pertama kalinya masuk kapal feri di Pelabuhan Merak naik kendaraan, sebelumnya selalu turun dulu di terminal Merak untuk kemudian jalan kaki menuju ke kapal.
Saat bus naik ke kapal, rasanya luar biasa. Bus sebesar ini bisa masuk kapal hey! Tidak hanya bus besar seperti bus kami, ada juga bus ukuran sedang, mobil pribadi dan juga motor.
Parkir kendaraan berada di bawah kapal. Tempat parkirnya agak gelap. Bau asap dan bensin sangat menyengat, membuat kami tidak nyaman walaupun sudah memakai masker.
Setelah kendaraan diparkir, semua penumpang turun dan langsung naik ke kabin khusus penumpang.
Menyebrangi Selat Sunda
Kondisi di kabin penumpang ramai banget, karena memang sudah memasuki puncak arus mudik. Kami sempat berkeliling mencari tempat duduk, tapi sayangnya semua bangku full diduduki orang atau ditag pakai tas atau koper.
Akhirnya kami menemukan space duduk di salah satu ruangan yang juga ramai. Bukan duduk di bangku, tapi selonjoran di lantai!
Dan unfortunately di ruangan ini ada semacam hiburan, di mana seorang penyanyi bernyanyi diiringi musik yang disetel lewat sound system dengan volume maksimal. Ya ampun berisik banget! Rasanya telinga kami mau pecah saking kerasnya suara musik itu.
Tapi mau bagaimana lagi, yang kami pikirkan hanya agar kami bisa istirahat sejenak dengan merebahkan badan, bersandar ke tembok. Syukur-syukur kalau bisa tertidur.
Lama duduk di dalam ruangan membuat bosan juga. Kami kemudian memutuskan keluar ruangan menuju teras kapal untuk melihat laut lepas. Kondisi mataharinya sedang terik-teriknya.
Tapi tak apalah daripada bete di dalem plus telinga pengang mendengar dentuman suara musik yang keras. Tidak lupa kami berfoto untuk kenang-kenangan.
Perjalanan pelabuhan Merak ke Pelabuhan Bakauheni (Lampung) kira-kira selama dua jam, jika kondisi lancar. Loh lancar gimana? Emang di laut bisa macet? Yes! Karena nanti saat kapal sampai, dan akan menepi di pelabuhan Bakauheni, bisa jadi ada antrian menunggu kapal lain bongkar-pasang penumpang.
Welcome to Sumatera Island
Sampai di Pelabuhan Bakauheni sekitar jam 17.00-an. Kendaraan-kendaraan kembali mengantri untuk keluar dari dalam kapal. Saya merasa lega, perjalanan kami sudah semakin mendekati tujuan, karena kami sudah sampai di Pulau Sumatera!
Saat keluar dari Pelabuhan Bakauheni sudah memasuki sore hari. Udara sudah agak sejuk. Matahari juga sudah tidak begitu terik lagi seperti tadi.
Bus melanjutkan perjalananan melewati pertigaan arah ke Lampung Timur. Biasanya saat kami hendak ke kampung halaman Mama di Lampung, dari Bakauheni, kami langsung belok ke arah sana. Tapi kali ini, arah perjalanan kami lurus aja ke arah utara.
Pemandangan asri sudah mulai nampak di sepanjang jalan. Pepohonan rindang di sepanjang jalan, perbukitan serta rumah-rumah penduduk lokal yang berjejer di sekitarnya. Saya sangat senang, nuansa mudik jadi sangat terasa.
Melihat pemandangan pedesaan begini begitu memanjakan mata. Sangat kontras dengan apa yang ada di Jakarta.
Pemberhentian Pertama di Pulau Sumatera
Tidak lama bus berhenti lagi di rumah makan atau restoran. Penumpang yang turun boleh makan atau sholat Maghrib sekalian jamak Isya. Kami langsung menuju ke kamar mandi pipis kemudian wudhu.
Mungkin karena ini pengalaman pertama saya singgah di rumah makan dalam perjalanan panjang, saya merasa kurang nyaman dengan kondisi kamar mandi di restoran tersebut. Kebersihannya sangat kurang, ditambah penerangan dari lampu yang kurang memadai alias remang-remang gitu.
Tapi ya sudahlah, namanya juga sarana umum.
Kelar solat, kami ikut duduk-duduk di ruang utama restorannya. Kami gak minat makan di sana sih, karena kami sebelumnya sudah berbuka puasa dengan bekal makanan yang kami bawa.
Kami memakannya di dalam bus sebelum bus berhenti di restoran ini. Tapi karena Ayah pesen secangkir kopi, kami jadi ikutan pesen teh hangat. Lumayan menghangatkan badan di udara malam yang sudah mulai digin.
Bus berhenti tidak terlalu lama dan kembali meluncur. Jalanan sangat gelap, saya hampir tidak bisa melihat apa-apa di sisi kanan dan kiri jalan. Hanya cahaya dari bus dan kendaraan-kendaraan lain di belakang dan depan saja sebagai sumber penglihatan.
Saya merasa agak sedih juga sih kami jadi gak bisa sholat tarawih, padahal malam itu adalah malam terakhir sholat tarawih karena besoknya udah masuk malam takbiran.
Penumpang lain tampak sudah tertidur. Lampu di dalam bus sudah dimatikan, ditambah udara yang semakin dingin, membuat suasananya jadi sangat bobo-able. Saya pun kemudian bersandar pada kursi bus dan ikutan tidur.
Di perjalanan malam pada hari kesatu ini, kita masih menyusuri Provinsi Lampung. Kota yg kami lewati (kalau tidak salah ingat) adalah Kalianda, Tanjung Karang, Panjang, Bandar Lampung, Kotabumi, Kemuning, dll.
Day 2
Sahur di Dalam Bus
Sekitar jam 3an saya sempat kebangun. Jalanan masih tampak gelap dan udara juga masih sangat dingin. Tapi karena saya sudah puas tidur, saya enggan untuk tidur lagi. Saya lebih memilih melamun sambil memandang keluar jendela, menikmati perjalanan dan memikirkan lika-liku kehidupan. Halah!
Tidak lama kemudian, waktunya kami sahur untuk kali terakhirnya di bulan Ramadhan tahun itu. Walaupun sebenarnya kami dapat keringanan untuk gak puasa, karena sedang dalam perjalanan jauh (safar), kami tetap memutuskan untuk berpuasa.
Alasannya seperti yang sudah saya sebutkan di atas, karena selama perjalanan ini kami cuma duduk-duduk dan tidur, jadi tidak terlalu berat buat puasa. Lagian, males juga sih kalau kebanyakan utang puasa, hehe.
Sahur di dalam perjalanan ini baru pertama kalinya buat kami. Rasanya gak kalah nikmat dengan sahur di rumah. Malah kami jadi bersyukur dengan sahur yang serba terbatas ini, ya nasi dan lauk yang udah dingin, tempat yang sempit karena cuma di ataas kursi bus, udara yang dingin, dll.
Jam 06.00 bus baru berhenti di mushola agar para penumpangnya bisa solat subuh. Sebenarnya udah kesiangan banget sih, tapi mau bagaimana lagi. Malah pemberhentian ini bisa dibilang kilat banget, aku yang nyempetin diri untuk cuci muka, sampai diburu-buru oleh kenek busnya karena bus keburu mau berangkat. Hadeh!
Melihat Rumah Tradisional Sumatera Selatan
Di pagi, hari kedua ini kami sudah masuk di Provinsi Sumatera Selatan. Kota yang kami lewati yaitu; Baturaja, Muara Enim, Lahat, Lubuk Linggau, Sarolangon, dll.
Di salah satu kota atau daerah tersebut (saya lupa nama tepatnya), di sepanjang pinggir jalannya terdapat rumah-rumah tradisional khas Provinsi Sumatera Selatan. Bentuk rumahnya berupa rumah panggung yang sangat unik. Ada yang terbuat dari semen dan kayu.
Karena ukuran bus yang besar dan posisi tempat duduk kami agak tinggi dari jalan, jadi kami dapat melihat dengan jelas warga-warga yang beraktivitas di sepanjang jalan tersebut.
Ada yang sedang melangsungkan hajatan pernikahan, jual beli di Pasar Tradisional, menjemur pakaian, para orang tua yang duduk-duduk bercengkrama sambil sarapan bahkan anak-anak yang bermain dengan ceria.
Wah, saya tidak bosan-bosannya menyaksikan itu semua!
Saya sangat senang bisa mendapatkan pengalaman langka ini.
Bus Meluncur Membelah Hutan Sumatera
Di hari kedua ini, badan kami udah mulai pegel-pegel, secara udah 24 jam lebih kami hanya duduk di bus tidak selonjoran. Kami juga udah mulai merasa bosan.
Tidak seperti Ayah dan Adik yang gampang banget tertidur, saya termasuk tipe susah tidur, jadi sepanjang jalan seringnya mata saya terjaga, jadilah bosan saya double ditambah pegel di sekujur badan.
Akhirnya saya berinisiatif untuk berdiri di tengah antara bangku penumpang. Beruntung waktu itu posisi duduk di paling belakang, jadi saat berdiri, tidak menghalangi pandangan orang lain.
Dan kemudian pemandangan di luar bus berhasil menghilangkan rasa bosan saya. Tampak hutan-hutan yang sangat lebat. Ayah bilang sih ini termasuk hutan Sumatera juga. Masya Allah, kami berjalan di tengah hutan Sumatera!
Pepohonan yang ada di sepanjang jalan benar-benar termasuk pohon-pohon yang batangnya besar dan daunnya lebat. Kami tidak melihat hal lain kecuali pohon-pohon itu. Saat melewati kawasan ini, sudah tidak ada pemukiman penduduk. Sepertinya memang benar ini kawasan hutan. Wah wah wah.
Singgah di Lubuk Linggau
Bus kembali melakukan pemberhentian di Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, untuk sholat Dzuhur dan Ashar. Hemm..berarti kalau ada yang tanya saya pernah ke Sum-Sel atau belum, jawabannya sudah dong ya, walaupun cuma sekedar singgah buat sholat, hehe.
Kondisi toiletnya kurang lebih sama kayak yang sudah saya jelasin di atas. Mungkin agak terang, karena masih siang.
Setelah sholat kami sempet beli oleh-oleh di sekitar restoran tempat singgah ini. Semacam cemilan gurih, berbentuk kecil persegi panjang seperti tusuk gigi. Harganya pun tidak terlalu mahal.
Melihat kondisi di sekitar restoran di Lubuk Linggau ini, hanya ada jalan lintas dan pepohonan di pinggirnya. Tidak ada bangunan atau rumah penduduk di sekitar restoran ini. Termasuk sepi kalau saja tidak ada bus-bus yang singgah ke sini.
Provinsi selanjutnya yang kita lewatin yaitu Jambi, baru selanjutnya sampai ke Sumatera Barat.
Sumatera Barat, Finally!
Kami masuk Provinsi Sumatera Barat kira-kira sore menjelang Maghrib. Kami lagi-lagi buka puasa saat masih di dalam bus, dan masih dengan bekal makanan yg kami bawa; kurma, nasi, rendang dan abon.
Tidak lama kemudian kami singgah lagi di salah satu restoran. Kata ayah sih ini persinggahan yang terakhir, which is sebentar lagi sampai di tujuan, yeay!
Yang spesial dari restoran ini yaitu di depan restorannya ada pertunjukkan seorang bapak memainkan saluang, alat musik khas Sumatera Barat.
Karena Ayah orang minang tulen dan suka banget sama suara saluang ini, jadilah beliau langsung nonton pertunjukkan saluangnya dengan seksama sambil nostalgia gitu katanya, hehe.
Sekitar dua jam perjalanan dari restoran tadi, bus mulai masuk daerah perkampungan, sebelumnya kan masih daerah hutan gitu. Rasanya seneng banget sudah mau sampai.
Apalagi suasana malam takbiran sudah mulai terasa. Lantunan suara takbir sudah mulai terdengar bersahutan.
Allahu akbar.. Allahu akbar.. Allahu akbar.. La ilaha illallahu Allahu akbar.. Allahu akbar wa lillahil hamd..
Ya Allah, nikmat banget rasanya. Sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Cita-cita untuk mudik ke kampung halaman ayah akhirnya kesampean juga.
Tertahan di Terminal Solok
Sampai di terminal Solok, yang berarti sebentar lagi menuju kampung Ayah di Sungayang, Batusangkar. Di terminal ini ada bus NPM dari terminal-terminal lainnya di Jakarta, seperti terminal Kampung Rambutan, Rawamangun, dll.
Sebelnya naik bus NPM ini, para penumpang dibagi-bagi lagi sesuai tujuan spesifik masing-masing. Misal bagi penumpang yang mau ke Solok, harus pindah masuk ke bus A, yang mau ke Bukittinggi harus pindah masuk ke bus B, dst. Jadi makan waktu banget.
Kami sampai bete. Padahal sudah tinggal sebentar lagi kami sampai di tujuan. Untungnya sih, kami gak perlu pindah bus, karena bus kami adalah bus untuk tujuan ke Batusangkar. Jadi penumpang lain yang harus pindah ke bus kami.
Sambil menunggu pertukaran penumpang ini, banyak pedagang naik ke bus kami untuk menjajakan dagangannya. Di antaranya ada yang menjual sate padang. Karena perut sudah mulai lapar plus mama yang suka banget sate padang, langsung beli dong hehe.
Dan Enaaaaaakkk banget satenya sumpah. Kayaknya makanan khas suatu daerah memang lebih terasa nikmat kalau dimakan langsung di daerah asalnya. Kayak sate padang ini. Harganya pun murah banget cuma Rp 5.000 aja per bungkus atau per porsi. Nyam..nyam..nyam..
Menuju rumah Tante
Perjalanan menuju daerah Batusangkar, kami melewati Danau Singkarak. Bus kami berjalan di pinggir danaunya. Sebenernya saya penasaran banget mau melihat secara langsung penampakan danau yg tersohor itu. Sayang sekali karena gelap, jadi gak kelihatan, hiks.
Ternyata danau ini luas banget. Sekitar satu jam lamanya kami mengitari danau ini.
Nah, kalau sudah melewati Danau Singkarak, artinya sebentar lagi kami sampai ke tujuan. Kami pun minta diturunin di restoran Angin Berhembus. Unik ya nama restonya? Hehe. Orang sana udah familiar banget sama nama restoran ini.
Sampai di restoran tersebut, kami dijemput dengan mobil oleh adik sepupu Ayah. Setelah itu langsung ke rumah tante di Sungayang. Alhamdulillah.
And the journey ended.
Journey Review
Ringkasnya, lama perjalanan mudik dari Jakarta ke Padang naik bus adalah 2 hari satu malam, dengan rincian: berangkat dari Jakarta jam 12.00 siang, sampai di Sumatera Barat, tepatnya Batusangkar, sekitar jam 10.00 malam keesokan harinya.
Dengan catatan kondisi lalu lintas lancar, dan tidak ada delay kapal laut merapat di pelabuhan, armada bus yang digunakan, dll.
Nah, setiap hal kan pasti ada plus-minus dan suka-dukanya ya. Di akhir postingan ini aku mau kabarin beberapa poinnya.
Plus
- Lebih hemat untuk yang berbudget minim
- Mempererat hubungan keluarga; jadi lebih care selama di jalan. Ada pembagian tugas dan tanggung jawab.
- Dapat pengalaman berharga seperti bisa melihat pemandangan hutan lebat Sumatera secara langsung (sekalian bertafakur dan tadzakkur), melihat kehidupan warga lokal di sepanjang jalan, dll.
- Mendapatkan pengalaman-pengalaman pertama seperti melakukan perjalanan full selama dua hari, melewati provinsi-provinsi di Pulau Sumatera, bus masuk ke kapal feri, dll.
- Belajar sabar selama di perjalanan.
- Belajar untuk bisa lebih ‘gercep’ alias gerak cepat dan gak lelet.
- Jadi lebih tahu hukum safar dalam Islam (sholat yg bisa dijamak dalam kondisi seperti apa, boleh sholat dalam bus atau tidak, dll)
Minus
- Makan waktu lumayan lama. Apalagi bus sering singgah di beberapa restoran yang membuat perjalanan jadi tambah lama.
- Badan pegel-pegel
- Kadang merasa bete
- Toilet di restoran kurang bersih dan berbayar
- Toilet di dalam bus kurang nyaman
- Kalau makan di restoran harganya relatif mahal dan tidak ada pricelist
Lalu, kalau ditanya mau lagi gak mudik ke Padang naik bus, maka jawabannya : TIDAAAK!
Eits, bukan berarti aku menyesali perjalanan ini ya, justru aku bersyukur bisa diberi kesempatan melakukan perjalanan seperti ini. Tapi cukup sekali deh ya hehe.
Semoga next time nya bisa ke Padang naik pesawat atau bawa mobil sendiri biar lebih nyaman. Aamiin.
Buat kamu yang baru berencana mudik ke Padang juga naik bus, it’s okay kok. Nikmatin aja perjalanannya. Malah Ayahku bilang, beliau maunya naik bus lagi kalo ke Padang. Hadeh!
Dengan catatan sesuai kebijakan pemerintah lebih lanjut ya
Sekian sharing pengalaman mudik saya ke Padang naik bus. Karena sudah menikah, sekarang tujuan mudik saya gak hanya ke Padang, tapi juga ke Cilacap naik kereta api. Silakan dibaca. Semoga bermanfaat 🙂